PRINSIP AKIDAH ISLAM

Aqidah Islam dasarnya adalah iman kepada Allah, iman kepada malaikat-Nya, iman kepada kitab-kitab-Nya, iman kepada para rasul-Nya, iman kepada hari Akhir, dan iman kepada takdir yang baik dan yang buruk. Dasar-dasar ini telah ditunjukkan oleh Kitabullah dan sunnah Rasul-Nya.
Allah berfirman dalam kitab suci-Nya, yang artinya:
“Bukankah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebaktian, akan tetapi sesungguhnya kebaktian itu ialah beriman kepada Allah, hari Kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi…”
(Al Baqarah 177)
Dalam soal takdir, Allah berfirman, yang artinya:
“Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran, dan perintah Kami hanyalah satu perkataan seperti sekejap mata.”
(Al Qomar 49-50)
Nabi juga bersabda dalam sunnahnya sebagai jawaban terhadap malaikat Jibril ketika bertanya tentang iman:
اْلإِيْمَانُ أَنْ تُؤْمِنَ بِاللهِ وَمَلاَئِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ وَتُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ.
“Iman adalah engkau mengimani Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari Kemudian, dan mengimani takdir yang baik dan yang buruk.”
(HR. Muslim).
IMAN KEPADA ALLAH
Iman kepada Allah mengandung empat unsur:
1.Mengimani Wujud Allah
Wujud Allah telah dibuktikan oleh fitrah, akal, syara’, dan pancaindera.
1. Bukti fitrah tentang wujud Allah adalah bahwa iman kepada sang Pencipta merupakan fitrah setiap makhluk, tanpa terlebih dahulu berpikir atau belajar. Tidak akan berpaling dari tuntutan fitrah ini, kecuali orang yang di dalam hatinya terdapat sesuatu yang dapat memalingkannya.
Rasulullah bersabda:
مَا مِنْ مَوْلُوْدٍ يُوْلَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ، فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ.
“Semua bayi yang dilahirkan dalam keadaan fitrah. Ibu bapaknyalah yang meyahudikan, mengkristenkan, atau yang memajusikannya.”
(HR. Al Bukhari)
2. Bukti akal tentang wujud Allah adalah proses terjadinya semua makhluk, bahwa semua makhluk, yang terdahulu maupun yang akan datang, pasti ada yang menciptakan. Tidak mungkin makhluk menciptakan dirinya sendiri, dan tidak mungkin pula tercipta secara kebetulan. Tidak mungkin wujud itu ada dengan sendirinya, karena segala sesuatu tidak akan dapat menciptakan dirinya sendiri. Sebelum wujudnya tampak, berarti tidak ada.
Semua makhluk tidak mungkin tercipta secara kebetulan, karena setiap yang diciptakan pasti membutuhkan pencipta. Adanya makhluk-makhluk itu di atas undang-undang yang indah, tersusun rapi, dan saling terkait dengan erat antara sebab-musababnya dan antara alam semesta satu sama lainnya. Semua itu sama sekali menolak keberadaan seluruh makhluk secara kebetulan, karena sesuatu yang ada secara kebetulan, pada awalnya pasti tidak teratur.
Kalau makhluk tidak dapat menciptakan diri sendiri, dan tidak tercipta secara kebetulan, maka jelaslah, makhluk-makhluk itu ada yang menciptakan, yaitu Allah Rabb semesta alam.
Allah menyebutkan dalil aqli (akal) dan dalil qath’i dalam surat Ath Tur:

(Mengapa mereka tidak beriman?) Adakah mereka telah tercipta dengan tiada yang menciptanya, atau adakah mereka yang mencipta diri mereka sendiri?
“Apakah mereka diciptakan tanpa sesuatu pun ataukah mereka yang menciptakan (diri mereka sendiri)?”
(Ath Thuur 35)
Dari ayat di atas tampak bahwa makhluk tidak diciptakan tanpa pencipta, dan makhluk tidak menciptakan dirinya sendiri. Jadi jelaslah, yang menciptakan makhluk adalah Allah.
Ketika Jubair bin Muth’im mendengar dari Rasulullah n yang tengah membaca surat Ath Thuur dan sampai kepada ayat-ayat ini:
“Apakah mereka diciptakan tanpa sesuatu pun, ataukah mereka yang menciptakan (diri mereka sendiri)? Ataukah mereka telah menciptakan langit dan bumi itu? Sebenarnya mereka tidak meyakini (apa yang mereka katakan). Ataukah di sisi mereka ada perbendaharaan Rabbmu atau merekakah yang berkuasa?”
(Ath Thuur 35-37)
“Ia, yang tatkala itu masih musyrik berkata, “Hatiku hampir saja terbang. Itulah permulaan menetapnya keimanan dalam hatiku.”
(HR. Al Bukhari)
Dalam hal ini kami ingin memberikan satu contoh. Kalau ada seseorang berkata kepada Anda tentang istana yang dibangun, yang dikelilingi kebun-kebun, dialiri sungai-sungai, dialasi oleh hamparan karpet, dan dihiasi dengan berbagai perhiasan pokok dan penyempurna, lalu orang itu mengatakan kepada Anda bahwa istana dengan segala kesempurnaannya ini tercipta dengan sendirinya, atau tercipta secara kebetulan tanpa pencipta, pasti Anda tidak akan mempercayainya, dan menganggap perkataan itu adalah perkataan dusta dan dungu. Kini kami bertanya pada Anda, masih mungkinkah alam semesta yang luas ini beserta apa-apa yang berada di dalamnya tercipta dengan sendirinya atau tercipta secara kebetulan?!
3. Bukti syara’ tentang wujud Allah bahwa seluruh kitab langit berbicara tentang itu. Seluruh hukum yang mengandung kemaslahatan manusia yang dibawa kitab-kitab tersebut merupakan dalil bahwa kitab-kitab itu datang dari Rabb yang Maha Bijaksana dan Mengetahui segala kemaslahatan makhluknya. Berita-berita alam semesta yang dapat disaksikan oleh realitas akan kebenarannya yang didatangkan kitab-kitab itu juga merupakan dalil atau bukti bahwa kitab-kitab itu datang dari Rabb yang Maha Kuasa untuk mewujudkan apa yang diberitakan itu.
4. Bukti indera tentang wujud Allah dapat dibagi menjadi dua: a. Kita dapat mendengar dan menyaksikan terkabulnya doa orang-orang yang berdoa serta pertolongan-Nya yang diberikan kepada orang-orang yang mendapatkan musibah. Hal ini menunjukkan secara pasti tentang wujud Allah. Allah berfirman:
“Dan (ingatlah kisah) Nuh, sebelum itu ketika dia berdoa dan Kami memperkenankan doanya, lalu Kami selamatkan dia beserta keluarganya dari bencana yang besar.”
(Al Anbiyaa 76)
“(Ingatlah), ketika kamu memohon pertolongan kepada Rabbmu, lalu diperkenankan-Nya bagimu…”
(Al Anfaal 9)
Anas bin Malik berkata, “Pernah ada seorang badui datang pada hari Jum’at. Pada waktu itu Nabi tengah berkhotbah. Lelaki itu berkata, “Hai Rasul Allah, harta benda kami telah habis, seluruh warga sudah kelaparan. Oleh karena itu mohonkanlah kepada Allah untuk mengatasi kesulitan kami.” Rasulullah lalu mengangkat kedua tangannya dan berdoa. Tiba-tiba awan mendung bertebaran bagaikan gunung-gunung. Rasulullah belum turun dari mimbar, hujan turun membasahi jenggotnya. Pada hari Jum’at yang kedua, orang badui atau orang lain berdiri dan berkata, “Hai Rasul Allah, bangunan kami hancur dan harta benda pun tenggelam, doakanlah akan kami ini (agar selamat) kepada Allah.” Rasulullah lalu mengangkat kedua tangannya, seraya berdoa: “Ya Rabbku, turunkanlah hujan di sekeliling kami dan janganlah Engkau turunkan sebagai bencana bagi kami.” Akhirnya beliau tidak mengisyaratkan pada suatu tempat, kecuali menjadi terang (tanpa hujan).”
(HR. Al Bukhari)
b. Tanda-tanda para nabi yang disebut mukjizat, yang dapat disaksikan atau didengar banyak orang merupakan bukti yang jelas tentang wujud Yang Mengutus para nabi tersebut, yaitu Allah, karena hal-hal itu berada di luar kemampuan manusia. Allah melakukannya sebagai pemerkuat dan penolong bagi para rasul.
Ketika Allah memerintahkan Nabi Musa untuk memukul laut dengan tongkatnya, Musa memukulkannya, lalu terbelahlah laut itu menjadi dua belas jalur yang kering, sementara air di antara jalur-jalur itu menjadi seperti gunung-gunung yang bergulung. Allah berfirman, yang artinya:
“Lalu Kami wahyukan kepada Musa: “Pukullah lautan itu dengan tongkatmu.” Maka terbelahlah lautan itu dan tiap-tiap belahan adalah seperti gunung yang besar.”
(Asy Syu’araa 63)
Contoh kedua adalah mukjizat Nabi Isa ketika menghidupkan orang-orang yang sudah mati; lalu mengeluarkannya dari kubur dengan ijin Allah.
“…dan aku menghidupkan orang mati dengan seijin Allah…”
(Al Imran 49)
“…dan (ingatlah) ketika kamu mengeluarkan orang mati dari kuburnya (menjadi hidup) dengan ijin-Ku…”
(Al Maidah 110)
Contoh ketiga adalah mukjizat Nabi Muhammad ketika kaum Quraisy meminta tanda atau mukjizat. Beliau mengisyaratkan pada bulan, lalu terbelahlah bulan itu menjadi dua, dan orang-orang dapat menyaksikannya. Allah berfirman tentang hal ini, yang artinya:
“Telah dekat (datangnya) saat (Kiamat) dan telah terbelah pula bulan. Dan jika mereka (orang-orang musyrik) melihat suatu tanda (mukjizat), mereka berpaling dan berkata: “(Ini adalah) sihir yang terus-menerus.”
(Al Qomar 1-2)
Tanda-tanda yang diberikan Allah, yang dapat dirasakan oleh indera kita itu adalah bukti pasti wujud-Nya.
2.Mengimani Rububiyah Allah
Mengimani rububiyah Allah maksudnya mengimani sepenuhnya bahwa Dialah Rabb satu-satunya, tiada sekutu dan tiada penolong bagi-Nya.
Rabb adalah Yang berhak menciptakan, memiliki serta memerintah. Jadi, tidak ada Pencipta selain Allah, tidak ada pemilik selain Allah, dan tidak ada perintah selain perintah dari-Nya. Allah telah berfirman, yang artinya:
“…Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanya hak Allah. Mahasuci Allah, Rabb semesta alam.”
(Al A’raaf 54)
“…Yang (berbuat) demikian itulah Allah Rabbmu, kepunyaan-Nyalah kerajaan. Dan orang-orang yang kamu seru (sembah) selain Allah tidak mempunyai apa-apa walaupun setipis kulit ari.”
(Faathir 13)
Tidak ada makhluk yang mengingkari kerububiyahan Allah, kecuali orang yang congkak sedang ia tidak meyakini kebenaran ucapannya, seperti yang dilakukan Fir’aun ketika berkata kepada kaumnya,
”Akulah tuhanmu yang paling tinggi.”
(An Naazi’aat 24),
dan juga ketika berkata, “Hai pembesar kaumku, aku tidak mengetahui tuhan bagimu selain aku.”
<
(Al Qashash 38)
Allah berfirman, yang artinya:
“Dan mereka mengingkarinya karena kezhaliman dan kesombongan mereka padahal hati mereka meyakini (kebenaran)nya.”
(An Naml 14)
Nabi Musa berkata kepada Fir’aun: “Sesungguhnya kamu telah mengetahui bahwa tiada yang menurunkan mukjizat-mukjizat itu kecuali Rabb Yang memelihara langit dan bumi sebagai bukti-bukti yang nyata; dan sesungguhnya aku mengira kamu, hai Fir’aun, seorang yang akan binasa.”
(Al Israa’ 102)
Oleh karena itu, sebenarnya orang-orang musyrik mengakui rububiyah Allah, meskipun mereka menyekutukan-Nya dalam uluhiyah (penghambaan). Allah berfirman, yang artinya:
“Katakanlah: “Kepunyaan siapakah bumi ini, dan semua yang ada padanya, jika kamu mengetahui?” Mereka akan menjawab, “Kepunyaan Allah.” Katakanlah: “Maka apakah kamu tidak ingat?” Katakanlah: “Siapakah Yang Empunya langit yang tujuh dan Yang Empunya ‘Arsy yang besar?” Mereka akan menjawab: “Kepunyaan Allah.” Katakanlah: ‘Apakah kamu tidak bertaqwa?” Katakanlah: “Siapakah yang di tangan-Nya berada kekuasaan atas segala sesuatu, sedang Dia melindungi, tetapi tidak ada yang dapat dilindungi dari (adzab)-Nya, jika kamu mengetahui?” Mereka akan menjawab: “Kepunyaan Allah.” Katakanlah: “(Kalau demikian), maka dari jalan manakah kamu ditipu?”
(Al Mu’minuun 84-89)
“Dan sungguh jika kamu bertanya kepada mereka: “Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?”, niscaya mereka akan menjawab, “Semuanya diciptakan oleh Yang Mahaperkasa lagi Maha Mengetahui.”
(Az Zukhruf 9)
“Dan sungguh jika kamu bertanya kepada mereka: “Siapakah yang menciptakan mereka?”, niscaya mereka menjawab: “Allah”, maka bagaimanakah mereka dapat dipalingkan (dari menyembah Allah)?”
(Az Zukhruf 87)
Perintah Allah mencakup perintah alam semesta (kauni) dan perintah syara’ (syar’i). Dia adalah pengatur alam, sekaligus sebagai pemutus segala perkara, sesuai dengan tuntutan hikmah-Nya. Dia juga pemutus peraturan-peraturan ibadah serta hukum-hukum muamalat sesuai dengan tuntutan hikmah-Nya. Oleh karena itu barangsiapa menyekutukan Allah dengan seorang pemutus ibadah atau pemutus muamalat, maka dia berarti telah menyekutukan Allah serta tidak mengimani-Nya.
3.Mengimani Uluhiyah Allah
Artinya, benar-benar mengimani bahwa Dialah ilah yang benar dan satu-satunya, tidak ada sekutu bagi-Nya.
Al-Ilah artinya “al-ma’luh”, yakni sesuatu yang disembah dengan penuh kecintaan serta pengagungan.
Allah berfirman, yang artinya:
“Dan Tuhanmu adalah Tuhan Yang Maha Esa; tidak ada Tuhan melainkan Dia. Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.”
(Al Baqarah 163)
“Allah menyatakan bahwa tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia yang menegakkan keadilan. Para malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan demikian). Tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia yang Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.”
(Al Imran 18)
Allah berfirman tentang Lata, Uzza, dan Manat yang disebut sebagai Tuhan, namun tidak diberi hak uluhiyah:
Allah Ta’ala berfirman, yang artinya:
“Itu tidak lain hanyalah nama-nama yang kamu dan bapak-bapak kamu mengada-adakannya; Allah tidak menurunkan suatu keterangan pun untuk (menyembah)nya…”
(An Najm 23)
Setiap sesuatu yang disembah selain Allah, uluhiyahnya adalah batil. Allah Ta’ala berfirman, yang artinya:
“(Kuasa Allah) yang demikian itu adalah karena sesungguhnya Allah, Dialah (Tuhan) Yang Haq dan sesungguhnya apa saja yang mereka seru selain dari Allah, itulah yang batil, dan sesungguhnya Allah, Dialah Yang Mahatinggi lagi Mahabesar.”
(Al Hajj 62)
Allah juga berfirman tentang Nabi Yusuf yang berkata kepada dua temannya di penjara, yang artinya: “Hai kedua temanku dalam penjara, manakah yang baik, tuhan-tuhan yang bermacam-macam itu ataukah Allah Yang Maha Esa lagi Mahaperkasa? Kamu tidak menyembah yang selain Allah, kecuali hanya (menyembah) nama-nama yang kamu dan nenek moyangmu membuat-buatnya. Allah tidak menurunkan suatu keterangan pun tentang nama-nama itu…”
(Yusuf 40)
Oleh karena itu para rasul berkata kepada kaum-kaumnya: “Sembahlah Allah oleh kamu sekalian, sekali-kali tidak ada Tuhan selain daripada-Nya. Maka mengapa kamu tidak bertaqwa (kepada-Nya)?”
(Al Mu’minun 32)
Orang-orang musyrik tetap saja mengingkarinya. Mereka masih saja mengambil tuhan selain Allah. Mereka menyembah, meminta bantuan dan pertolongan kepada tuhan-tuhan itu dengan menyekutukan Allah. Pengambilan tuhan-tuhan yang dilakukan orang-orang musyrik ini telah dibatalkan oleh Allah dengan dua bukti:
a. Tuhan-tuhan yang diambil itu tidak mempunyai keistimewaan uluhiyah sedikit pun, karena mereka adalah makhluk, tidak dapat menciptakan, tidak dapat menarik kemanfaatan, tidak dapat menolak bahaya, tidak memiliki hidup dan mati, tidak memiliki sedikit pun dari langit dan tidak pula ikut memiliki keseluruhannya.
Allah berfirman, yang artinya:
“Mereka mengambil tuhan-tuhan selain daripada-Nya (untuk disembah), yang tuhan-tuhan itu tidak menciptakan apa pun, bahkan mereka sendiri diciptakan dan tidak kuasa untuk (menolak) sesuatu kemudharatan dari dirinya dan tidak (pula untuk mengambil) sesuatu kemanfaatan pun dan (juga) tidak kuasa mematikan, menghidupkan dan tidak (pula) membangkitkan.”
(Al Furqan 3)
“Katakanlah: “Serulah mereka yang kamu anggap (sebagai tuhan) selain Allah. Mereka tidak memiliki (kekuasaan) seberat zarrah pun di langit dan di bumi, dan mereka tidak mempunyai suatu saham pun dalam (penciptaan) langit dan bumi, dan sekali-kali tidak ada di antara mereka yang menjadi pembantu bagi-Nya. Dan tiadalah berguna syafaat di sisi Allah, melainkan bagi orang yang telah diijinkan-Nya memperoleh syafaat…”
(Saba’ 22-23)
“Apakah mereka mempersekutukan Allah (dengan) berhala-berhala yang tak dapat menciptakan sesuatu pun? Sedangkan berhala-berhala itu sendiri buatan orang. Dan berhala-berhala itu tidak mampu memberi pertolongan kepada penyembah-penyembahnya dan kepada dirinya sendiri pun berhala-berhala itu tidak dapat memberi pertolongan.”
(Al A’raaf 191-192)
Kalau demikian keadaan tuhan-tuhan itu, maka sungguh sangat tolol dan sangat batil bila menjadikan mereka sebagai ilah dan tempat meminta pertolongan. b. Sebenarnya orang-orang musyrik mengakui bahwa Allah adalah satu-satunya Rabb, Pencipta, yang ditangan-Nya kekuasaan segala sesuatu. Mereka juga mengakui bahwa hanya Dialah yang dapat melindungi dan tidak ada yang dapat melindungi-Nya.
Ini mengharuskan pengesaan uluhiyah (penghambaan), seperti mereka mengesakan rububiyah (ketuhanan) Allah. Allah Ta’ala berfirman:
“Hai manusia, sembahlah Rabbmu yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertaqwa. Dialah yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap. Dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rezeki untukmu; karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu mengetahui.”
(Al Baqarah 21-22)
“Dan sungguh jika kamu bertanya kepada mereka: “Siapakah yang menciptakan mereka?”, niscaya mereka menjawab: “Allah”. Maka bagaimanakah mereka dapat dipalingkan (dari menyembah Allah)?”
(Az Zukhruf 87)
“Katakanlah: “Siapakah yang memberi rezeki kepadamu dari langit dan bumi, atau siapakah yang kuasa (menciptakan) pendengaran dan penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup, dan siapakah yang mengatur segala urusan?” Maka katakanlah: “Mengapa kamu tidak bertaqwa (kepada-Nya)?” Maka (Zat yang demikian) itulah Allah Rabb kamu yang sebenarnya. Tidak ada sesudah kebenaran itu, melainkan kesesatan. Maka bagaimanakah kamu dipalingkan (dari kebenaran)?”
(Yunus 31-32)
4.Mengimani Asma dan Sifat Allah Iman kepada nama-nama dan sifat-sifat Allah yakni menetapkan nama-nama dan sifat-sifat yang sudah ditetapkan Allah untuk diri-Nya dalam kitab suci-Nya atau sunnah Rasul-Nya dengan cara yang sesuai dengan kebesaran-Nya tanpa
tahrif (penyelewengan),
ta’thil (penghapusan),
takyif (menanyakan bagaimana?), dan tamsil (menyerupakan).
Allah berfirman, yang artinya:
“Allah mempunyai asmaaul husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asmaaul husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-nama-Nya. Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan.”
(Al A’raaf 180)
“…Allah mempunyai sifat yang Mahatinggi; dan Dialah Yang Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.”
(An Nahl 60)
“…Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”
(Asy Syuura 11)
Dalam perkara ini ada dua golongan yang tersesat, yaitu:
1. Golongan Mu’aththilah, yaitu mereka yang mengingkari nama-nama dan sifat-sifat Allah atau mengingkari sebagiannya saja. Menurut perkiraan mereka, menetapkan nama-nama dan sifat itu kepada Allah dapat menyebabkan tasybih (penyerupaan), yakni menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya. Pendapat ini jelas keliru karena:
a. Sangkaan itu akan mengakibatkan hal-hal yang bathil atau salah, karena Allah telah menetapkan untuk diri-Nya nama-nama dan sifat-sifat, serta telah menafikan sesuatu yang serupa dengan-Nya. Andaikata menetapkan nama-nama dan sifat-sifat itu menimbulkan adanya penyerupaan, berarti ada pertentangan dalam kalam Allah serta sebagian firman-Nya akan menyalahi sebagian yang lain.
b. Kecocokan antara dua hal dalam nama dan sifatnya tidak mengharuskan adanya persamaan. Anda melihat ada dua orang yang keduanya manusia, mendengar, melihat, dan berbicara, tetapi tidak harus sama dalam makna-makna kemanusiaannya, pendengarannya, penglihatannya, dan pembicaraannya. Anda juga melihat beberapa binatang yang punya tangan, kaki, dan mata, tetapi kecocokannya itu tidak mengharuskan tangan, kaki dan mata mereka sama. Apabila antara makhluk-makhluk yang cocok dalam nama atau sifatnya saja jelas memiliki perbedaan, maka tentu perbedaan antara Khaliq (Pencipta) dan makhluk (yang diciptakan) akan lebih jelas lagi.
2. Golongan Musyabbihah, yaitu golongan yang menetapkan nama-nama dan sifat-sifat, tetapi menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya. Mereka mengira hal ini sesuai dengan nash-nash Al Qur’an, karena Allah berbicara dengan hamba-Nya dengan sesuatu yang dapat dipahaminya. Anggapan ini jelas keliru ditinjau dari beberapa hal, antara lain:
a. Menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya jelas merupakan sesuatu yang bathil, menurut akal maupun syara’. Padahal tidak mungkin nash-nash kitab suci Al Qur’an atau Sunnah rasul menunjukkan pengertian yang bathil.
b. Allah Ta’ala berbicara dengan hamba-hamba-Nya dengan sesuatu yang dapat dipahami dari segi asal maknanya. Hakikat makna sesuatu yang berhubungan dengan zat dan sifat Allah adalah hal yang hanya diketahui oleh Allah saja. Apabila Allah menetapkan untuk diri-Nya bahwa Dia Maha Mendengar, maka pendengaran itu sudah maklum dari segi maknanya, yaitu menemukan suara-suara.
Tetapi hakikat hal itu dinisbatkan kepada pendengaran Allah tidak maklum, karena hakikat pendengaran jelas berbeda, walau pada makhluk sekali pun. Jadi perbedaan hakikat itu antara Pencipta dan yang diciptakan jelas lebih jauh berbeda. Apabila Allah memberitahuan tentang diri-Nya bahwa Dia bersemayam di atas Arsy-Nya, maka bersemayam dari segi asal maknanya sudah maklum, tetapi hakikat bersemayamnya Allah itu tidak dapat diketahui.
Buah Iman kepada Allah:
1. Merealisasikan pengesaan Allah sehingga tidak menggantungkan harapan kepada selain Allah, tidak takut kepada yang lain, dan tidak menyembah kepada selain-Nya.
2. Menyempurnakan kecintaan terhadap Allah, serta mengagungkan-Nya sesuai dengan nama-nama-Nya yang indah dan sifat-sifat-Nya yang mahatinggi.
3. Merealisasikan ibadah kepada Allah dengan mengerjakan apa yang diperintah serta menjauhi apa yang dilarang-Nya.

Ulasan

Catatan popular daripada blog ini

HAK AHLI ZIMMAH

NAMA LAIN BULAN RAMADHAN

SAYYID ABUL A"LA AL-MAUDUDI